Sabtu, 5 Januari 2008

Sigit Budiarto


Pemain bulutangkis yang hobi berat dengan sepak bola. Itulah Sigit Budiarto. Di sela-sela latihan rutinnya di Pelatnas Bulutangkis di Cipayung, Jakarta Timur, Sigit kerap menyempatkan diri bermain sepak bola dengan rekan-rekannya. Kebetulan di sana memang ada lapangannya. Jadi kloplah. "Saya memang sering mengisi waktu luang dengan bermain sepak bola," tuturnya.Sigit mulai terjun ke dunia bulutangkis pada usia enam tahun. Ia meniti karirnya di klub kelas kampung di Prambanan, Magelang, Jawa Tengah. Setelah itu, berturut-turut ia masuk klub-klub Setiakawan dan Pancing, sebelum akhirnya ke Klub Djarum Kudus. Nah, di klub milik perusahaan rokok itulah ia serius mengasah talentanya. Pada 1995, ia kemudian ditarik ke Pelatnas Bulutangkis di Cipayung.Para pengamat bulutangkis menyebut Sigit bukan sekadar pemain bulutangkis. Ia juga dijuluki penghibur di lapangan. Cap itu melekat boleh jadi lantaran ia kerap melakukan pukulan-pukulan dengan gaya akrobatiknya. Terutama saat ia mengembalikan kok yang dipukul lawan. Misalnya, ia terkadang memukul dari belakang punggung, atau dari kedua belah kakinya. Tentang ulahnya itu, ia berkomentar, "Semuanya saya lakukan tanpa tujuan ingin berakrobat, hanya refleks saja."Prestasi Internasional yang paling berkesan bagi Sigit adalah ketika ia menjadi juara dunia ganda putra 1997, berpasangan dengan Chandra Wijaya. Berkat keberhasilan menjadi juara dunia, ia memperoleh beasiswa dari IOC Solidarity (Solidaritas Komite Olimpiade Internasional) berupa bantuan dana latihan selama mempersiapkan diri ke Olimpiade Sydney bersama Chandra.Malang, beasiswa tersebut batal ia terima, karena ia terkena kasus doping pada akhir 1998. Selain itu, ia diskors tidak boleh bertanding selama satu tahun. “Saya sendiri sampai sekarang tidak tahu mengapa saya bisa terkena kasus doping,” tuturnya. "Terus terang, saya sangat terpukul atas kasus tersebut," tambah pria yang memakai anting segitiga di telinga kirinya itu. Beruntung, Sigit bisa menghadapi kasus itu dengan lapang dada. Perlahan tapi pasti, anak ketiga dari empat bersaudara keluarga Sutoto dan Naniek Sriniati itu tetap giat berlatih --meski ia tak bisa bertanding selama setahun skorsing. Hasilnya, bersama pasangannya Chandra Wijaya, ia ikut memperkuat Tim Piala Thomas Indonesia 2000 dan 2002 – dan membawanya pulang ke tanah air. Selain itu, pada 2001, Sigit dan pasangannya berhasil menjuarai Copenhagen Master.Kini, setelah ikut mempertahankan Piala Thomas 2002, Sigit masih memendam satu obsesi lagi. "Kapten Kesebelasan Cipayung” itu sedang mempersiapkan diri untuk merebut mendali emas Olimpiade 2004.

Tiada ulasan: