Ahad, 6 Januari 2008

Iie Sumirat-Meteor Dari Bandung Selatan



LANTAI GOR bulu tangkis di Jln. Soekarno Hatta No. 52 Bandung itu sedang direnovasi. Seorang tukang sedang membobok ubin. Seorang lagi sedang memasang keramik di sekeliling lapangan, sementara tukang lainnya hilir mudik menyediakan semen adukan.


Ubin-ubin bekas yang masih utuh dikumpulkan. Mungkin, ubin tersebut pernah dipijak kaki seorang peraih medali emas cabang bulu tangkis Olimpiade Athena 2004. Mungkin pula, ubin-ubin itu menyiratkan beragam perjuangan yang pernah terlewati oleh atlet-atlet lainnya.Di salah satu sisi GOR, terpampang dengan jelas nama GOR tersebut. "Badminton Camp Iie Sumirat, SGS Elektrik". GOR ini pun menjadi saksi bisu pembentukan fisik, teknik, dan mental Taufik Hidayat yang fenomenal itu.


Derap langkah terdengar dari sekitar pintu. Laki-laki. Ia mengenakan kaos polo putih bertulis "Indonesia" dan celana pendek. "Waduh, punten yeuh karebul. Lapangna bade dirombak janten tilu lapang, nu dua bade dilapis karpet, teras nu hiji deui bade ngangge ubin kayu. Urang ngalih ka sapalih weh," kata laki-laki yang mengenalkan dirinya sebagai Iie Sumirat itu. Ia lantas mengajak ke ruangan di samping GOR yang dipenuhi piala, piagam, dan foto-foto.Setelah itu, mantan peraih medali emas tunggal putra Asian Games 1966 dan 1970 ini mulai membuat kami seolah pindah ke GOR. Ia "merubah" atmosfer ruangan. Ingar bingar penonton, teriakan pelatih di pinggir lapang bulu tangkis, tatapan tajam pemain lawan setelah menyeka keringat di wajah, hingga teriakan puas saat seorang atlet menang.


"Dulu, saya sering renang, sepak bola, dan tenis meja. Semua saya lakukan bersama kawan sepermainan di Jalan Madu Rasa, Mohamad Toha, Bandung. Namun, sejak diajak kakak (Nara Sudjana-red) ke GOR bulu tangkis, entah mengapa saya lebih cocok dan suka dengan olah raga satu ini," kisah Iie yang sempat bersekolah di SD Tegallega, SMP Pasundan 2, SMAN 11, dan SMAN 4 Bandung ini.Dari situ lah, Iie memupuk minatnya. Berlatih dan berlatih menjadi aktivitas rutinnya.


Lepas latihan, ia membantu sang ayah yang membuka usaha bengkel cat mobil: memompa. "Dua pompa tangan saya pompa sekaligus. Lumayan capek, sih," ujar Iie, mengenang.Iie kecil yang baru berusia 11 tahun dan duduk di bangku kelas 5 SD, belum sadar pompa itu berperan membawanya keliling dunia kelak.


Setahun kemudian, atau pada tahun 1962, ia didaftarkan sang kakak mengikuti kejuaraan lokal "Braga Festival". Tempat bermainnya, di bawah pohon di sekitar viaduct (sekarang Bank BNI-red).Kecepatan bermainnya mengundang decak kagum banyak pihak. Pertandingan ia lalui dengan tanpa susah payah. Iie berhasil menjuarai event ini. Ia pun diberi julukan baru oleh surat kabar yang Anda baca saat ini, Pikiran Rakyat."Waktu itu, koran Pikiran Rakyat menulis, saya adalah 'Meteor dari Bandung Selatan'.


Wah, saya senang bukan main. Hal itu sangat memotivasi saya," ungkap Iie.Dari situ, ia mulai bergerilya. Kejuaraan tingkat kecamatan hingga kota ia lahap. Tujuannya, menambah jam terbang. Hal ini dilakukan pula untuk mengasah semua yang didapatnya dari latihan.Pada tahun 1968, dukungan sang kakak--yang juga menjadi pemain profesional--membuatnya berani menapaki jalur prestasi junior tingkat nasional.


Iie remaja yang lahir 15 November 1950 ini sukses melibas semua lawan yang turut berlaga di Purwokerto.Setahun berselang, pada tahun 1969, status juniornya berubah. Usianya saat itu menginjak 19 tahun. Kali ini, "Meteor dari Bandung Selatan" melahap semua lawannya di Jawa Barat."Gelar ini saya raih kedua kalinya pada 1970. Ya, betul, 1970, tahun yang sama saat saya dipanggil ke pelatnas," kata Iie sambil mengernyitkan dahi, berusaha mengingat. (Roby Nugraha/"PR"/ bersambung)


***Senjata Khas Bernama ”Kedutan”

DI atas sofa hijau, sore itu, Iie duduk santai. Pikirannya menerawang jauh pada masa-masa awal kariernya di dunia bulu tangkis. Sesekali ia terdiam, berusaha mengingat detail. "O ya, sebelum masuk pelatnas, tiap Senin dan Kamis, saya selalu kumpul dengan senior-senior saya, Pak Ruslan yang sekarang jadi ketua DPRD Jabar, Unang Ape, Toto Hanafiah, dan kakak saya Nara Sudjana di gedung Himpunan Persaudaraan di Jln. Dalem Kaum Bandung," kenang Iie begitu ingat tempatnya berlatih dulu.Pada tahun 1969, lanjut Iie, ada semacam seleksi yang diadakan di Bandung. Maka, ia mengikutinya. Terpilihlah empat pemain wakil Jawa Barat. Dua di antaranya, Iie dan Wijaya (ayah dari peraih medali emas Olimpiade Sydney 2000, Candra Wijaya) dari Cirebon.Tahun itu pula, Iie dibenturkan pada dua pilihan, meneruskan sekolah atau menjadi pemain profesional.


"Saya waktu itu berpikir keras, soalnya tidak mudah mendapat kesempatan dipanggil pelatnas. Tapi, karena saya ingat potensi saya setelah menjadi juara senior Jabar, saya pilih ikut pelatnas," kata Iie yang tidak meneruskan studinya di kelas 3 SMAN 4 Bandung.Setahun kemudian, Iie terpilih menjadi pemain cadangan tim Thomas Cup Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia. Meski belum menjadi pemain inti, ia sempat bermain dua kali di babak penyisihan ganda putra. Indonesia menekuk Malaysia 7-2. Iie, bersamaan dengan Muljadi, Rudi Hartono, dan tim Indonesia merayakan kemenangan. Begitu kembali menginjak tanah air, ia mendapat Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soeharto.Bulu tangkis sudah menjadi nama tengahnya kini.


Dalam Kejuaraan Nasional senior di Yogyakarta tahun 1971. Pemain asal klub Djarum, Moh. Yusuf, ia empaskan di final. Yusuf dibuat bingung dengan gaya permainan Iie yang selain mengandalkan speed dan power, juga memiliki pukulan "gerak tipu".Iie membuat lawan telat bergerak mengantisipasi arah shuttlecock. Misal, posisi memukul Iie adalah posisi overhead lob. Lawan langsung mengantisipasi dengan footwork siap mundur ke belakang. Namun, pada kenyataannya, shuttlecock jatuh tidak melewati garis ganda daerah lawan, seperti karakter pukulan dropshot. Perkiraan Yusuf pun kerap meleset.Kemampuan memukul seperti ini telah diketahui Iie sejak kecil. Dan baru disadarinya, ketika ia disebut para pengamat, memiliki gerakan pergelangan tangan yang sangat cepat.


"Saya baru sadar kalau dulu saya sering bantu memompa di bengkel cat mobil ayah saya. Ternyata aktivitas itu melatih kekuatan pergelangan tangan dan otot perut saya," kenang Iie.Sejurus kemudian, Iie memperagakan caranya memompa. Tak banyak berbeda dengan apa yang kita lakukan saat menggunakan pompa tangan. Bedanya, Iie memompa sekaligus dua buah pompa tangan, dan melakukannya 30 menit tiap hari, selama 3 tahun! "Ya, itu rahasianya," kata Iie.Tahun itu pula, Iie menginjakkan kaki di Wembley, tempat digelarnya event All England. Namun, jam terbang rendah di gelaran internasional membuat Iie menyerah oleh pemain Jerman di babak pertama.


Sementara, seniornya, Rudi Hartono, meraih gelar All England keempatnya.Berbekal speed, power, dan pukulan "kedutan" tadi, Iie bertemu dua pemain terbaik Malaysia pada gelaran Singapore Open tahun 1972. Di semifinal ia bertemu Tan Aik Mong, di final ia bertemu Tan Aik Huang. Tiga modal Iie tadi berhasil membawanya meraih gelar juara internasional tunggal putra pertamanya.Pada event serupa yang digelar tahun 1973, terjadi All Indonesian Final. Iie pun memenanginya setelah bertemu juniornya, Liem Swie King, di semifinal, dan rekan seangkatannya, Tjun Tjun di final.Iie masih duduk santai di atas sofa hijau yang terletak di sudut ruangan yang dipenuhi piala, piagam, dan beberapa foto terkait gelar yang pernah diraihnya. Hari beranjak sore. Semburat kemilau emas menerpa wajahnya. Persis seperti karier "emas" yang dicapainya pertengahan tahun 70-an. (Roby Nugraha/"PR"/bersambung)


***Berjuluk ”Si Pembunuh Raksasa”

RITME bicara Iie makin berapi-api. Mengisahkan perjalanan karier yang pernah ditempuhnya merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Beberapa kali, ia lupa gelar apa saja yang pernah diraihnya. Hal ini dikarenakan ia sedang bercerita tentang serunya pengalamannya meraih juara World Badminton Championship tahun 1976 di Bangkok.


"Waktu itu, kami dibagi dua kubu. Kubu Rudi Hartono ke Wembley untuk mengikuti All England, kubu lainnya mengikuti undangan World Badminton Championship ke Bangkok. Event ini dibuat oleh Cina yang waktu itu belum menjadi anggota IBF sehingga tidak bisa mengikuti All England," kata Iie.Target kubu yang disebut lebih dulu, lanjut Iie, adalah agar Rudi Hartono dapat mencapai rekor menang sembilan kali beruntun All England.Iie, bersama Dhany Sartika, Christian, Ade Candra, dan Verawati bertolak ke Bangkok.


Di awal pertandingan, seperti ditulis Sejarah Bulu tangkis Indonesia, Iie menyikat pemain Pakistan, Tariq Wadood dua set langsung. Udom Luangpachara dan Pichai Vangsiritavorn (Thailand), serta Prakash Padukone (India) menjadi korban keganasan pukulan "kedutan" khas Iie selanjutnya.Di semifinal, Iie menghadapi pemain Cina (awalnya WNI, lalu kembali ke Cina) Tang Hsien Hu yang pernah melahap King, Tjuntjun, dan Nunung di arena Asian Games. Di final, Iie bertemu Hou Chia Chang. Kedua pemain itu, ditulis media sebagai "dua raksasa yang tak tergoyahkan" karena selalu memenangi berbagai kejuaraan.Melawan Tang, Iie unggul lebih dulu 15-9. Di set kedua, Tang yang bergerak enteng di lapangan dan memiliki pukulan-pukulan gerak tipu, menekan hingga memimpin lebih dulu 7-4. Iie tak mau kalah dan melancarkan berbagai serangannya, 12-7. Namun, Tang lebih dominan, dan mengakhiri set 15-12. Set terakhir, keduanya mati-matian berlaga. Setelah imbang 5-5, Iie melesat meninggalkan Tang 15-6. Iie melaju ke final.


"Waktu saya istirahat, banyak telefon masuk memberi selamat dari Jakarta. Tekad pun semakin bulat untuk dapat membawa piala. Ah, iraha deui. Bebeakan weh lah, sugan da moal paeh di lapangan," kenang Iie.Hou Jiachang, jelas Iie, memiliki teknik, fisik, dan mental bertanding yang sangat baik. Permainannya, menggabungkan speed, power dan kerap bermain stroke. "Mirip-mirip saya lah, ngadu kubet weh eta mah," kata Iie yang seolah melawan diri sendiri saat itu.Set pertama. Iie bermain defensif. Iie kalah 12-15. Pada set kedua, Iie menghabiskan tenaga Hou 8-15. Pertandingan diteruskan lewat rubber set.Pada set penentuan, keduanya tampil tak mau kalah. Pukulan "kedutan" Iie masih membuat Hou "menari-nari", namun sebaliknya kecepatan Hou masih membuat kejar-kejaran skor: 2-2, 5-5, 6-6. Setelah ketinggalan 10-11, Hou menyalip 12-11. Lalu, disusul lagi Iie 12-13. Satu poin lagi untuk Iie, 13-13 dan terjadi deuce 5."Dari situ, poinnya saya kunci. Ia tak berhasil menambah satu poin pun. Saat kedudukan 17-13 untuk saya, saya kepalkan tangan ke atas. Servis terakhir. Bermain reli cepat, dan bola melambung ke atas kiri saya. Itu bola susah buat dismes. Dia kira, saya mau dropshot. Tapi, saya tipu pake lob serang ke kanan belakang daerah lawan. Karena dia keburu mendekati net, dia mati langkah. Olohok weh ninggal bola. Masuk!" seru Iie tanpa terputus-putus.Iie pun mendapat predikat "The Giant Killer", "Pembunuh Naga". (Roby Nugraha/"PR"/bersambung)


***Sempat Kabur dari Pelatnas pada Tahun 1979***

SAMBIL membenahi letak duduknya, Iie meneruskan kisahnya. Pebulu tangkis yang unik nan eksentrik ini menjadi citra yang melekat pada ayah enam anak ini. Media cetak yang terbit medio 1970-an menulis, Iie kerap keluar masuk Pelatnas saat itu. Menangapi hal ini, dengan berterus terang, Iie mengakuinya.


"Ya, saya akui itu. Tapi, bukan berarti juga tanpa alasan yang jelas," kata Iie yang kembali semangat bercerita.Tahun 1979, adalah kejadian paling fatal tentang kaburnya seorang Iie Sumirat dari Pelatnas. Saat itu, Indonesia sedang mempersiapkan tim Piala Thomas yang akan digelar di Jakarta. Seleksi pemain pun dilakukan. Saat seleksi akan menginjak tahap semifinal untuk penentuan tunggal putra, Iie yang sempat pula dijuluki "Tan Joe Hok Cilik" ini menempati peringkat ketiga. Peringkat keempat, dihuni "si bola karet" Lius Pongoh.


"Waktu semifinal, saya tidak dimainkan. Yang diturunkan malah Lius Pongoh. Wah, saya tidak enak perasaan waktu itu. Saya lihat, ini setting kubu-kubu wilayah tertentu. Buktinya, saya dan Ade Tjandra tidak dimainkan," kata Iie.Dengan perlakuan seperti itu, Iie yang merasa tidak dihiraukan, beranggapan dirinya tidak akan dimainkan di final seleksi dan khawatir tidak terpilih menjadi pemain inti. Buntutnya, ia kabur menjelang pelaksanaan Piala Thomas!"


Langsung saja saya kabur ke Bandung. Tapi, meski begitu, dalam benak, saya merasa juga pasti akan diturunkan. Oleh karenanya, saya meneruskan latihan sendiri saja," kenang Iie.Perwakilan pelatnas pun menyusul ke Bandung. Saat bertemu, Iie menawarkan sebuah kesepakatan an offer they can't refuse."Saya bilang kalau saya tidak main di final seleksi, saya akan undang wartawan untuk menggelar konferensi pers," katanya.Posisi tawar Iie saat itu amatlah tinggi. Pasalnya, beberapa wartawan nasional yang telah mengendus kaburnya Iie dari pelatnas, sudah menyusul pula ke Bandung.


Akhirnya, Iie "menang" bersyarat. "Si bola karet" akhirnya menyerah pada "pembunuh raksasa". Iie masuk tim inti, diikuti Liem Swie King, dan Rudi Hartono. Bahkan, ia bermain pula untuk nomor ganda putra, berpasangan dengan Tjuntjun.Hasilnya, Iie menyumbang 3 poin dari total 9 partai pertandingan untuk mempertahankan Piala Thomas kali keempat berturut-turut. Iie menang dua partai tunggal dan sekali partai ganda. Indonesia mendapat Piala Thomas dari tahun 1970, 1973, 1976, dan 1979.


Di partai final Piala Thomas 1979, Indonesia menghadapi Denmark. Saat Iie melawan Svend Pri, keunikan Iie "kambuh" lagi. Kali ini, bukan hanya pukulan "kedutan". Iie melakukan gerakan-gerakan senam mirip ngibing di lapangan. Hal itu ia lakukan untuk merusak mental Pri. "Biasa lah, itu mah ngaledek. Lagian, gerakan itu tidak dilarang," kata Iie sambil terkekeh mengingatnya. Lewat rubber set, rival Rudi Hartono ini bertekuk lutut.


Sementara, rival terkuat Iie adalah Flemming Delfs. Delfs mengandaskan ambisi Iie mencapai gelar juara All England 1974. Iie harus puas menjadi runner-up kala itu. Begitu pula di All England 1977, Iie kalah. Namun, di Taiwan Terbuka 1977 dan Tokyo Terbuka 1978 giliran Delfs yang gigit jari. (Roby Nugraha/"PR"/bersambung)


***Mendirikan PB & MelahirkanTaufik Hidayat***

SEBETULNYA, ada peluang Iie Sumirat untuk meraih gelar juara All England 1978. Sayangnya, ada strategi khusus Indonesia untuk peringkat pemain menghadapi Thomas Cup 1979. "Liem Swie King menghadapi Rudi Hartono di final All England 1976. King kembali menantang Rudi, saat kembali terjadi all Indonesian final di All England 1978," kata Iie.


Menjelang pertandingan semifinal antara Iie dan King pada All England 1978, Rudi melobi Iie. Saat itu, Rudi mengajak Iie untuk bersama-sama dengannya, menaikkan peringkat King dengan meluluskan jalannya menjadi juara. Pasalnya, King muda memendam potensi luar biasa, sekaligus taktik Indonesia menghadapi Thomas Cup tahun berikutnya."Wah, saya ragu waktu itu. Pada satu sisi, saya punya ambisi. Tapi, di sisi lain, saya juga bawa nama negara. Rudi juga lebih senior dari saya," ujar Iie mengenang. Iie akhirnya mengorbankan ambisinya.Menghadapi King dan jumping smash-nya, Iie tak gentar. Ia masih dapat menyerang King dengan variasi stroke dan punya senjata pukulan "kedutan". Terlebih, stamina King saat itu sedang menurun. Namun, Iie mengalah.


"Terus terang, kalau saya kalahkan saat itu, King akan kalah. Kondisinya sedang jelek. Tahun 1978, kemenangan King di All England seakan-akan dibantu saya dan Rudi," kata Iie. Pada final, Rudi pun mengalah pada King.Namun, tahun itu Iie turut membawa Indonesia menjuarai Asian Games, juara Japan Open (grand prix), dan runner-up turnamen lainnya di Jepang.


Terlepas dari agenda tersebut, Iie memuji King. Usia 20 tahun, King sudah bermain di partai final All England 1976. Setahun sebelumnya, variasi stroke Iie belum mampu membungkam jumping smash King pada Kejurnas 1975 di Surabaya, meski partai itu berlangsung rubber set."Wajar lah, saya lebih tua 6 tahun.


Sebetulnya, di antara pemain muda saat itu, yang bisa menerobos ke atas, hanya King. Dia memiliki motivasi sangat tinggi, yang didukung kemampuan teknik prima," kata Iie, yang bersama dengan Rudi Hartono, Liem Swie King, Tjuntjun, Johan, Christian Hadinata, dan Ade Tjandra sempat dijuluki magnificent seven.Tahun 1981, Iie bersama sebagian dari magnificent seven menjuarai duel meet dengan Denmark. Setahun kemudian, ia masih dipercaya mengikuti pelatnas Thomas Cup 1982. Indonesia kalah tipis 4-5 dari Cina.


Tahun itu pula, di usianya yang ke-32, Iie memutuskan gantung raket. Selain umur, pengunduran dirinya didorong faktor klasik yang kerap dialami atlet Indonesia. "Setelah Thomas Cup 1979, ada pengurus PBSI yang menjanjikan secara lisan, tanah dan rumah di Jakarta untuk saya. Rudi dapat di Jakarta, sementara King dapat di Jawa Tengah. Saya beda nasib," katanya.Dari Pemda Jabar, Iie mendapat rumah di Sukaluyu dan sebagian bantuan untuk GOR SGS yang berdiri hingga kini.


Dirikan PB Sarana MudaIie meneruskan karier bulu tangkisnya dengan membina anak-anak di Ciganitri dan Moh. Toha. Ia pun mulai membangun GOR di Jln. Soekarno Hatta Bandung. Di situ, ia mendirikan PB Sarana Muda, embrio SGS Elektrik.Beberapa kali berganti sponsor, akhirnya Sarana Muda dilebur menjadi Sangkuriang Graha Sarana (SGS) yang merupakan PB gabungan antara Edi Ismanto (mantan pebulu tangkis), Lutfi Hamid (pejabat PLN), dan Iie. SGS mulai "beranak" dan mendirikan GOR baru di daerah Caringin. Kakak Iie, Nara Sudjana turut melatih.


Di PB SGS Elektrik, Iie menemukan intan Pangalengan yang belum diasah. "Daya serapnya tinggi, motivasi mau menang sangat tinggi, dan potensinya tinggi pula. Atas dasar itu, saya sarankan ia mengikuti seleksi pelatnas tahun 1996," kata Iie.Intan itu berkembang dan meroket. Mewarisi pukulan "kedutan" Iie, ia juara 6 kali Indonesia Open, medali emas Olimpiade Athena 2004, serta Kejuaraan Dunia 2005.Kini, Iie bangga pernah turut membentuk fondasi permainannya. Iie bangga pula dengan prestasi yang dicapai intan Pangalengan yang bernama Taufik Hidayat itu.


Hingga saat ini, di SGS Elektrik dan Pusdiklat Lippo, Iie masih terus menggembleng anak-anak asuhannya. Tujuannya, menciptakan Taufik-Taufik baru yang siap menancapkan kembali supremasi bulu tangkis Indonesia di dunia

Tiada ulasan: