Sabtu, 7 Februari 2009

Air Mata Taufik di Pelatnas Cipayung

JAKARTA, KAMIS — Taufik Hidayat mengaku berat harus meninggalkan pelatnas bulu tangkis Cipayung yang sudah didiaminya sejak 1996. "Semoga kepergian saya membuat situasi lebih baik."

Taufik menyerahkan surat pengunduran diri dari pelatnas Cipayung kepada Kabid Pembinaan dan Prestasi PBSI, Lius Pongoh, pada Kamis (29/1) siang. "Saya langsung berpamitan dengan Mas Lius (Pongoh), dengan Koh Chris (Christian Hadinata), dengan kepala asrama, dan para pelayan di pelatnas Cipayung," kata Taufik.

Setelah itu Taufik langsung pulang. Ia mengaku, perasaannya galau meninggalkan tempat yang pernah menjadi tempatnya berlindung selama 12 tahun. Sejak ia masih pemain junior yang datang dari Bandung hingga di puncak dunia saat meraih medali emas di Olimpiade Athena 2004. "Ketika meninggalkan bangunan pelatnas saya berusaha menahan rasa sedih saya. Perasaan itu tidak juga hilang setelah saya sampai di rumah," kata taufik.

Taufik mengenang, pelatnas Cipayung tidak lagi bernuansa sekolah, tetapi lebih suasana keluarga yang guyub. "Yang paling saya ingat tentunya bagaimana saya dikerjain para senior saya," kata Taufik.

Cerita Taufik dikerjain seniornya memang bukan hal baru. Taufik muda selalu dihardik dan diledek para seniornya setiap kali "menyentuh" mobil-mobil milik para senior tersebut. "Heh lu enggak bisa beli tuh barang," kata para senior. Potongan kisah ini menimbulkan dendam dan semangat pada Taufik muda. Setelah berprestasi, Taufik membuktikan dirinya dengan membawa mobil jenis Toyota Alphard ke pelatnas Cipayung.

"Bagi saya itu menjadi kenangan yang indah," kata Taufik. Meski begitu, ia juga memiliki beberapa kenangan pahit yang menurut dia juga dirasakan banyak pemain hingga sekarang.

"Saya kira pengurus sekarang yang baru terpilih harus berubah dibandingkan yang lama. Sekarang komunikasi antara pengurus dan pemain harus lebih terbuka," katanya.

Menurut Taufik, apa yang diinginkan dan dipahami oleh pemain sebenarnya sangat jelas. "Pemain tahunya adalah berlatih, bertanding, dan kemudian dievaluasi. Kalau gagal, ia harus siap untuk kehilangan haknya. Namun kalau berhasil, ia boleh menanyakan haknya," katanya. Hal-hal seperti inilah yang menurut Taufik tidak dilakukan oleh para pengurus dan sudah berlangsung bertahun-tahun di Cipayung.

Taufik pun sebenarnya berharap pengurus juga menghargai para mantan pemain yang sudah tidak lagi di pelatnas. Ia tidak berharap akan ada upacara pelepasan pemain seperti yang pernah dirasakan beberapa pemain, seperti Susy Susanti dan Alan Budi Kusuma. "Tetapi ketika Flandy (Limpele) keluar dari pelatnas, apakah ada acara pelepasan? Kalau pun mau diadakan ya harus dari mereka. Bukan kami dong yang minta," kata Taufik lagi. Untuk pemian sekelas Taufik, upacara semacam ini tentunya layak diadakan.

Meski berkali-kali memuji peran PBSI terhadap perkembangan kariernya, Taufik tidak bisa menutupi bahwa ada masalah antara dirinya dan para pengurus. "Saya kira friksi itu biasa. Di sini kan terdiri dari banyak orang, ada dari Jawa, Sunda, dan lain-lain. Saya hanya berharap semoga kepergian saya membuat situasi menjadi lebih baik."

Sekali lagi, Taufik mencoba hanya mengingat hal-hal yang baik dari Cipayung. Begitu pun ia minta semua orang mengingat hal yang baik tentang dirinya. "Jangan melulu dilihat konflik saya dengan banyak pihak. Tetapi ingatlah saya karena prestasi saya di olimpiade, kejuaraan dunia, dan yang lainnya. Karena itulah saya ingin mundur selagi saya masih di puncak. Saya tidak ingin dikasihani atau dilupakan orang."

Taufik tidak merasakan kedua hal itu ketika melangkah meninggalkan lantai pelatnas Cipayung, Kamis (29/1). Ketika berpamitan kepada para petugas kebersihan atau petugas dapur pelatnas, hampir semuanya terkejut dengan keputusan tersebut.
"Waduuh Kang, nanti siapa yang jadi ketua panitia 17 Agustus di sini...?"
"Siapa nanti yang jadi ketua panitia peringatan Idul Qurban?"
"Siapa nanti yang menggantikan Taufik Hidayat?"

Tiada ulasan: