Ahad, 23 Mac 2008

Kisah Rudy Hartono di All England hampir sama dengan Tan Joe Hok. Keduanya datang, bertanding, dan menang. Veni, Vidi, Vici. Itu yang terjadi dengan Tan Joe Hok tahun 1959. Itu juga yang terjadi dengan Rudy Hartono tahun 1968. Rudy Hartono pun begitu, datang langsung juara.

Ada persamaan lain, baik Joe Hok maupun Rudy, datang ke All England setelah setahun sebelumnya memperkuat tim Piala Thomas Indonesia. Bedanya, Joe Hok sukses membawa Indonesia merebut Piala Thomas, Rudy—meski memenangi dua pertandingannya—tidak menjadikan piala tetap di Indonesia. Tahun 1967 itu memang piala itu lepas ke Malaysia setelah ada “Peristiwa Scheele

Ada perbedaan lain: Joe Hok hanya sekali menjadi juara, Rudy sampai delapan kali. Bahkan Rudy mengukir rekor sepanjang masa sebagai “pemain yang paling merebut gelar juara All England”.

Rudy pertama kali merebut gelar itu tahun 1968 dan terakhir 1976. dalam waktu sembilan tahun, dia menggondol gelar itu. Bukan main memang: sembilan kali ikut kejuaraan delapan kali menjadi yang terbaik. Rudy melebihi yang dicapai pemain Denmark Erland Kops yang tujuh kali menjadi juara. Posisi ‘sama dengan Kobbero’ ini dicapai Rudy tahun 1974, ketika di final mengalahkan Punch Gunalan dari Malaysia, 8-15, 15-9, 15-10. Rudy mengakui sendiri kemenangan yang ketujuh ini lebih sulit. Sampai-sampai ketika menang, Rudy melompat dan memeluk lawan! Ini tidak biasa dilakukan dalam enam kali kemenangan di final sebelumnya. “Yah, karena saya seakan-akan lepas dari situasi yang menjepit—bahkan sejak dari perempat final! Seakan-akan berhari-hari saya tidak berdaya dan terus-menerus di bawah tekanan, dan kini tekanan itu tiba-tiba mengendur bahkan hilang,” begitu tulis Rudy dalam bukunya Rajawali dengan Jurus Padi.

Tahun 1975 Rudy bersiap mengukir rekor delapan kali juara All England. Latihan berat dilakukan seperti biasanya. Berbeda dengan tahun sebelumnya yang langsung ke All England, Rudy bertarung dulu di Denmark dan menjadi juara dengan mengalahkan Svend Pri di final. Sukses ini memberi keyakinan pada diri Rudy dan semua pencintanya yang yakin dia akan jadi juara All England lagi dan mencatat rekor delapan kali juara. Optimisme itu bukan ilusi. Rudy menang di babak-babak awal hingga semifinal. Dilahapnya Ippei Kojima (Jepang) di perempat final lalu Flemming Delfs (Denmark) di semifinal. Bertemulah Rudy dengan Svend Pri di final. Rudy tampaknya mendapat beban mental tersendiri. Ketegangan menerpa dirinya. “Entah mengapa di dalam final, rasa “takut kalah” itu tiba-tiba muncul kembali. Ketegangan itu tentu saja membuat saya nerveous, gelisah,” katanya.

Tahir Djide, pelatih yang mendampinginya saat itu, menceriterakan bagaimana tegangnya pemain itu. ”Sampai-sampai dia tidak ingat membawa handuk,” katanya. Terpaksa Tahir kembali ke hotel—jaraknya kurang dari 200 meter—agar semua peralatan Rudy lengkap. “Rudy juga kelihatan tegang,” tambah Tahir. Biasanya Rudy mengambil inisiatif menyerang dulu kalau berhadapan dengan Pri. Kali ini ternyata lain. Rudy hanya sanggup berinisiatif pada angka-angka awal dan setelah itu dia didikte lawan. Dia banyak membuat kesalahan dan kalah di set pertama 11-15. Set kedua keadaan tidak berubah, meski Rudy sempat memimpin 8-4, tetapi kemudian Pri unggul 12-8. Banyak angka diperoleh Pri karena Rudy ragu-ragu dalam mengembalikan bola-bola Pri. ”Sebab apa? Sebab saya takut di smes,” kata Rudy. Sang juara bertahan berusaha keras menyusul. Berhasil dan bahkan unggul 14-12.

Namun, sungguh sulit mengakhiri set ini untuk kemenangan. Satu angka vital itu seakan jauh di mana. Pri berspekulasi dengan mengubah permainan. Dia menubruk bola-bola yang sebelum ini akan di angkat. Rudy kelabakan mengembalikan serangan-serangan macam ini. Pri pun menyamakan kedudukan 14-14 dan kemudian unggul 17-14. Rudy pun gagal menjadi juara delapan kali berturut-turut. Gagal pula mengukir rekor delapan kali juara. Rudy kemudian bertekad membuat revans atas kekalahan itu. Dia tetap ingin gelar kedelapan, sama dengan keinginan semua pembina, pencinta, dan masyarakat bulu tangkis Indonesia. Tahun 1976 itu banyak kejuaraan besar yang harus diikuti Indonesia.

Selain kejuaraan beregu putra Piala Thomas juga ada All England dan Kejuaraan Asia. Yang terakhir ini diselenggarakan oleh negara-negara Asia—dengan dukungan utama Cina—yang ‘berontak’ terhadap IBF dan ingin mendirikan organisasi tandingan World Badminton Federation (WBF). Indonesia pun membagi kekuatan menjadi dua: Rudy, Liem Swie King, Tjuntjun, dan Johan Wahjudi ke London, serta Iie Sumirat, Christian Hadinata, dan Ade Chandra ke Bangkok. Rudy bertugas mencetak rekor delapan kali juara, Iie diminta membungkam kampanye seakan-akan pemain Cina tak terkalahkan. Rudy sukses melakukannya, demikian juga Iie. Bagaimana Rudy melakukan hal yang kini tak mungkin dicapai siapa pun? Babak-babak awal tidak ada masalah. Barulah pada semifinal dia menghadapi kendala. Saat bertemu pemain Denmark, Fleming Delfs yang jangkung, set pertama Rudy menang 15-10. Namun, set kedua tiba-tiba kaki Rudy menghadapi masalah. Telapak kaki kanannya dirasakan sakit, akibat mengganti sepatu dengan yang baru. Rudy ketinggalan 0-3, 5-9, 7-10, dan lalu kalah 7-15. “Wah, sampai di sinilah riwayat karier saya. Cita-cita untuk menjadi juara delapan kali harus ditunda. Entah sampai kapan?,” kata Rudy dalam hati. Namun, Rudy tetap ingin rekor itu karenanya dia tetap main di set ketiga. Pada saat ketinggalan 2-9 Rudy mengubah permainan, dari menyerang menjadi main lambat dengan reli-reli. Ternyata taktik ini jalan. Dari ketinggalan 9-13, Rudy menyamakan 13-13. Kemenangan diraih Rudy dengan 18-15. Rudy kemudian bertemu Liem Swie King di final. Rudy menang dan menjadi pemain pertama yang delapan kali menjadi juara di All England.

Inilah gambaran Rudy tentang kemenangan itu. “Merupakan tanda tanya besar, apakah kemenangan saya itu ”diberi” atau memang saya perjuangkan dengan sungguh-sungguh. Saya sendiri merasakan pada saat itu King tidak ”memberikan” dengan begitu saja. Tapi memang tampaknya tidak bersungguh-sungguh untuk menang,” begitu tulis Rudy. Kisah Rudy di bulutangkis bermula ketika dia berusia delapan tahun. Sebenarnya bukan hanya bulu tangkis yang dia lakukan. Dia pernah ikut latihan renang dan memperoleh berbagai sertifikat. Hanya di sini dia tidak pernah ikut kejuaraan. Ia juga sempat belajar dan bisa bersepatu roda. Yang ini dilakukan diam-diam. Sepak bola dan bola voli juga pernah dilakukannya. Semuanya tidak seserius bulutangkis, hingga akhirnya menuju singgasana All England. Cabang ini akhirnya menjadi pilihan utama Rudy. Dan itu tidak lain karena sang ayah, Zulkarnaen Kurniawan.

Sang ayah yang pemain bulutangkis—juga pengurus klub Surya Naga, Surabaya—juga menggemblengnya dengan berbagai dasar bagi seorang pemain bulutangkis: fisik dan mental. Prestasinya membaik Rudy, ia langsung masuk klub Rajawali, tempat pemain-pemain terkenal Muljadi, Indratno, Indra Gunawan bergabung. Rudy kemudian menjadi juara Jawa Timur. Lalu juara junior nasional. Dan berkat itu, tahun 1965 Rudy diminta datang ke Jakarta, masuk pelatnas. Inilah yang membawanya makin berprestasi tinggi. Rudy kemudian masuk tim Piala Thomas tahun 1967. Pintu ke prestasi internasional pun terkuak. Ketika sudah terkenal, dia sempat menjadi bintang film bersama Poppy Darsono berjudul “Matinya Seorang Bidadari”. Dia juga sempat mencoba menjadi pilot Garuda bersama Darmadi. Namun, Rudy akhirnya tetap Rudy juga: bulutangkis tidak ditinggalkannya. Meski sempat jantungnya di by pass dia tetap setia dengan bulutangkis.)

Tiada ulasan: