Ahad, 6 Januari 2008

CHRISTIAN HADINATA



''Dunia bulu tangkis Indonesia harus mengadakan peremajaan sekarang juga. Kalau tidak, kapan lagi kita bisa berbicara?'' Ini kesimpulan Christian Hadinata, spesialis ganda yang tergolong pemain tertua yang masih dipakai dalam SEA Games 1985.


Tahun-tahun belakangan ini, Chris juga harus bisa membagi waktu dan konsentrasi. Sebab, sementara diandalkan dalam setiap turnamen resmi, ia juga bertindak sebagai pelatih. Semula menjadi pelatih putri, bersama Minarni. Tetapi, untuk persiapan SEA Games 1985 dan Piala Thomas 1986, ia dipercaya menjadi pelatih tim putra bersama Atik Djauhary dan Tahir Djide.


Christian anak bungsu dari enam bersaudara. Putra guru ini memang gemar berolah raga, terutama sepak bola. Bermain bulu tangkis, bahkan tadinya hanya asal-asalan. ''Barangkali karena lapangan bulu tangkis tidak jauh dari rumah saya, ya, saya mau ikut,'' katanya. ''Padahal waktu itu saya lebih senang main bola kaki.''


Toh, dalam olah raga bulu tangkis itu akhirnya Christian menonjol. Di kota kelahirannya, ia pernah menjuarai pertandingan bulu tangkis antarpelajar SMA. Setamat SMA, 1970, ia mendaftar di Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto. Sambil menunggu pengumuman, ia berangkat ke Bandung, menonton perebutan Piala Thomas lewat TV. ''Waktu itu, di Purwokerto siaran televisi tidak jelas, masih sering gerimis,'' tutur Chris. Di depan layar televisi, Chris mengakui dadanya bergetar. ''Melihat penampilan Rudy Hartono dan Mulyadi, wah, bagaimana, ya, dada itu bergelora. Sejak itu saya bertekad, akan terjun di bulu tangkis.''


Maka, Christian melupakan cita-citanya menjadi ekonom. Atas dorongan kakaknya di Bandung, ia mendaftar di Sekolah Tinggi Olah Raga (STO) -- kini Fakultas Kejuruan Ilmu Keolahragaan IKIP Bandung. Kuliah sambil tekun berlatih, ia bergabung dengan Klub Mutiara, di bawah asuhan Drs. Sukartono dan pelatih fisik Almarhum Irsan.


Hanya enam bulan ditempa di Bandung, Christian sudah meraih peringkat tertinggi di Jawa Barat. Di tingkat nasional, ia tidak terkalahkan pada Kejurnas Bulu Tangkis di Yogyakarta, dan menjadi juara ganda putra berpasangan dengan Atik Djauhari. Setahun setelah itu, untuk pertama kalinya, ia mengikuti pertandingan internasional di Kejuaraan Asia II di Jakarta. Berpasangan dengan Ade Chandra, merebut gelar juara pertama. ''Rasanya, begitu cepat bisa menempati nomor terhormat. Kebanggaan tiada terhingga,'' katanya.


Sejak 1972, Christian menjadi penghuni pelatnas. Pasangan legendarisnya tetap Ade Chandra. Tidak kurang dari sembilan kali pasangan ini menjadi juara ganda tingkat dunia, termasuk di All England. Di tingkat nasional, pasangan ini tidak terkalahkan.


Ketika Ade Chandra mundur, Christian berpasangan dengan Tjuntjun. Pasangan ini pun disegani. Ketika ada diskusi bulu tangkis antarnegara di Malmoe, Swedia, 1977, pasangan Christian dan Tjuntjun diakui sebagai ''Pemain ganda terbesar dasawarsa ini''.


Sebagai spesialis ganda, Christian ternyata mampu berpasangan dengan pemain mana saja. Ia pernah tampil bersama Iie Sumirat, dan dua kali merebut gelar terhormat berpasangan dengan Imelda Wigoena di nomor ganda campuran, All England 1979 dan Asian Games 1982. Bersama Bobby Ertanto, ia tampil di kejuaraan dunia 1983 di Kopenhagen, Denmark. Bersama Liem Swie King, ia menjadi pemain penentu perebutan Piala Thomas 1984. Bahkan pemain asing pun pernah dijadikan kawan pasangannya, yakni Kevin Jolly dan Nierhoff.


Walaupun Chris sudah mencatat 13 pasangan main, di rumah ia tetap setia dengan pasangan abadinya, Yoke Anwar. Anaknya juga sepasang, Mario Timothy dan Mariska Naftali. ''Kami hidup dari bulu tangkis. Chris tak punya usaha apa-apa,'' kata Yoke di rumahnya, di Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Tiada ulasan: