Ahad, 6 Januari 2008

Iie Sumirat-Meteor Dari Bandung Selatan



LANTAI GOR bulu tangkis di Jln. Soekarno Hatta No. 52 Bandung itu sedang direnovasi. Seorang tukang sedang membobok ubin. Seorang lagi sedang memasang keramik di sekeliling lapangan, sementara tukang lainnya hilir mudik menyediakan semen adukan.


Ubin-ubin bekas yang masih utuh dikumpulkan. Mungkin, ubin tersebut pernah dipijak kaki seorang peraih medali emas cabang bulu tangkis Olimpiade Athena 2004. Mungkin pula, ubin-ubin itu menyiratkan beragam perjuangan yang pernah terlewati oleh atlet-atlet lainnya.Di salah satu sisi GOR, terpampang dengan jelas nama GOR tersebut. "Badminton Camp Iie Sumirat, SGS Elektrik". GOR ini pun menjadi saksi bisu pembentukan fisik, teknik, dan mental Taufik Hidayat yang fenomenal itu.


Derap langkah terdengar dari sekitar pintu. Laki-laki. Ia mengenakan kaos polo putih bertulis "Indonesia" dan celana pendek. "Waduh, punten yeuh karebul. Lapangna bade dirombak janten tilu lapang, nu dua bade dilapis karpet, teras nu hiji deui bade ngangge ubin kayu. Urang ngalih ka sapalih weh," kata laki-laki yang mengenalkan dirinya sebagai Iie Sumirat itu. Ia lantas mengajak ke ruangan di samping GOR yang dipenuhi piala, piagam, dan foto-foto.Setelah itu, mantan peraih medali emas tunggal putra Asian Games 1966 dan 1970 ini mulai membuat kami seolah pindah ke GOR. Ia "merubah" atmosfer ruangan. Ingar bingar penonton, teriakan pelatih di pinggir lapang bulu tangkis, tatapan tajam pemain lawan setelah menyeka keringat di wajah, hingga teriakan puas saat seorang atlet menang.


"Dulu, saya sering renang, sepak bola, dan tenis meja. Semua saya lakukan bersama kawan sepermainan di Jalan Madu Rasa, Mohamad Toha, Bandung. Namun, sejak diajak kakak (Nara Sudjana-red) ke GOR bulu tangkis, entah mengapa saya lebih cocok dan suka dengan olah raga satu ini," kisah Iie yang sempat bersekolah di SD Tegallega, SMP Pasundan 2, SMAN 11, dan SMAN 4 Bandung ini.Dari situ lah, Iie memupuk minatnya. Berlatih dan berlatih menjadi aktivitas rutinnya.


Lepas latihan, ia membantu sang ayah yang membuka usaha bengkel cat mobil: memompa. "Dua pompa tangan saya pompa sekaligus. Lumayan capek, sih," ujar Iie, mengenang.Iie kecil yang baru berusia 11 tahun dan duduk di bangku kelas 5 SD, belum sadar pompa itu berperan membawanya keliling dunia kelak.


Setahun kemudian, atau pada tahun 1962, ia didaftarkan sang kakak mengikuti kejuaraan lokal "Braga Festival". Tempat bermainnya, di bawah pohon di sekitar viaduct (sekarang Bank BNI-red).Kecepatan bermainnya mengundang decak kagum banyak pihak. Pertandingan ia lalui dengan tanpa susah payah. Iie berhasil menjuarai event ini. Ia pun diberi julukan baru oleh surat kabar yang Anda baca saat ini, Pikiran Rakyat."Waktu itu, koran Pikiran Rakyat menulis, saya adalah 'Meteor dari Bandung Selatan'.


Wah, saya senang bukan main. Hal itu sangat memotivasi saya," ungkap Iie.Dari situ, ia mulai bergerilya. Kejuaraan tingkat kecamatan hingga kota ia lahap. Tujuannya, menambah jam terbang. Hal ini dilakukan pula untuk mengasah semua yang didapatnya dari latihan.Pada tahun 1968, dukungan sang kakak--yang juga menjadi pemain profesional--membuatnya berani menapaki jalur prestasi junior tingkat nasional.


Iie remaja yang lahir 15 November 1950 ini sukses melibas semua lawan yang turut berlaga di Purwokerto.Setahun berselang, pada tahun 1969, status juniornya berubah. Usianya saat itu menginjak 19 tahun. Kali ini, "Meteor dari Bandung Selatan" melahap semua lawannya di Jawa Barat."Gelar ini saya raih kedua kalinya pada 1970. Ya, betul, 1970, tahun yang sama saat saya dipanggil ke pelatnas," kata Iie sambil mengernyitkan dahi, berusaha mengingat. (Roby Nugraha/"PR"/ bersambung)


***Senjata Khas Bernama ”Kedutan”

DI atas sofa hijau, sore itu, Iie duduk santai. Pikirannya menerawang jauh pada masa-masa awal kariernya di dunia bulu tangkis. Sesekali ia terdiam, berusaha mengingat detail. "O ya, sebelum masuk pelatnas, tiap Senin dan Kamis, saya selalu kumpul dengan senior-senior saya, Pak Ruslan yang sekarang jadi ketua DPRD Jabar, Unang Ape, Toto Hanafiah, dan kakak saya Nara Sudjana di gedung Himpunan Persaudaraan di Jln. Dalem Kaum Bandung," kenang Iie begitu ingat tempatnya berlatih dulu.Pada tahun 1969, lanjut Iie, ada semacam seleksi yang diadakan di Bandung. Maka, ia mengikutinya. Terpilihlah empat pemain wakil Jawa Barat. Dua di antaranya, Iie dan Wijaya (ayah dari peraih medali emas Olimpiade Sydney 2000, Candra Wijaya) dari Cirebon.Tahun itu pula, Iie dibenturkan pada dua pilihan, meneruskan sekolah atau menjadi pemain profesional.


"Saya waktu itu berpikir keras, soalnya tidak mudah mendapat kesempatan dipanggil pelatnas. Tapi, karena saya ingat potensi saya setelah menjadi juara senior Jabar, saya pilih ikut pelatnas," kata Iie yang tidak meneruskan studinya di kelas 3 SMAN 4 Bandung.Setahun kemudian, Iie terpilih menjadi pemain cadangan tim Thomas Cup Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia. Meski belum menjadi pemain inti, ia sempat bermain dua kali di babak penyisihan ganda putra. Indonesia menekuk Malaysia 7-2. Iie, bersamaan dengan Muljadi, Rudi Hartono, dan tim Indonesia merayakan kemenangan. Begitu kembali menginjak tanah air, ia mendapat Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soeharto.Bulu tangkis sudah menjadi nama tengahnya kini.


Dalam Kejuaraan Nasional senior di Yogyakarta tahun 1971. Pemain asal klub Djarum, Moh. Yusuf, ia empaskan di final. Yusuf dibuat bingung dengan gaya permainan Iie yang selain mengandalkan speed dan power, juga memiliki pukulan "gerak tipu".Iie membuat lawan telat bergerak mengantisipasi arah shuttlecock. Misal, posisi memukul Iie adalah posisi overhead lob. Lawan langsung mengantisipasi dengan footwork siap mundur ke belakang. Namun, pada kenyataannya, shuttlecock jatuh tidak melewati garis ganda daerah lawan, seperti karakter pukulan dropshot. Perkiraan Yusuf pun kerap meleset.Kemampuan memukul seperti ini telah diketahui Iie sejak kecil. Dan baru disadarinya, ketika ia disebut para pengamat, memiliki gerakan pergelangan tangan yang sangat cepat.


"Saya baru sadar kalau dulu saya sering bantu memompa di bengkel cat mobil ayah saya. Ternyata aktivitas itu melatih kekuatan pergelangan tangan dan otot perut saya," kenang Iie.Sejurus kemudian, Iie memperagakan caranya memompa. Tak banyak berbeda dengan apa yang kita lakukan saat menggunakan pompa tangan. Bedanya, Iie memompa sekaligus dua buah pompa tangan, dan melakukannya 30 menit tiap hari, selama 3 tahun! "Ya, itu rahasianya," kata Iie.Tahun itu pula, Iie menginjakkan kaki di Wembley, tempat digelarnya event All England. Namun, jam terbang rendah di gelaran internasional membuat Iie menyerah oleh pemain Jerman di babak pertama.


Sementara, seniornya, Rudi Hartono, meraih gelar All England keempatnya.Berbekal speed, power, dan pukulan "kedutan" tadi, Iie bertemu dua pemain terbaik Malaysia pada gelaran Singapore Open tahun 1972. Di semifinal ia bertemu Tan Aik Mong, di final ia bertemu Tan Aik Huang. Tiga modal Iie tadi berhasil membawanya meraih gelar juara internasional tunggal putra pertamanya.Pada event serupa yang digelar tahun 1973, terjadi All Indonesian Final. Iie pun memenanginya setelah bertemu juniornya, Liem Swie King, di semifinal, dan rekan seangkatannya, Tjun Tjun di final.Iie masih duduk santai di atas sofa hijau yang terletak di sudut ruangan yang dipenuhi piala, piagam, dan beberapa foto terkait gelar yang pernah diraihnya. Hari beranjak sore. Semburat kemilau emas menerpa wajahnya. Persis seperti karier "emas" yang dicapainya pertengahan tahun 70-an. (Roby Nugraha/"PR"/bersambung)


***Berjuluk ”Si Pembunuh Raksasa”

RITME bicara Iie makin berapi-api. Mengisahkan perjalanan karier yang pernah ditempuhnya merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Beberapa kali, ia lupa gelar apa saja yang pernah diraihnya. Hal ini dikarenakan ia sedang bercerita tentang serunya pengalamannya meraih juara World Badminton Championship tahun 1976 di Bangkok.


"Waktu itu, kami dibagi dua kubu. Kubu Rudi Hartono ke Wembley untuk mengikuti All England, kubu lainnya mengikuti undangan World Badminton Championship ke Bangkok. Event ini dibuat oleh Cina yang waktu itu belum menjadi anggota IBF sehingga tidak bisa mengikuti All England," kata Iie.Target kubu yang disebut lebih dulu, lanjut Iie, adalah agar Rudi Hartono dapat mencapai rekor menang sembilan kali beruntun All England.Iie, bersama Dhany Sartika, Christian, Ade Candra, dan Verawati bertolak ke Bangkok.


Di awal pertandingan, seperti ditulis Sejarah Bulu tangkis Indonesia, Iie menyikat pemain Pakistan, Tariq Wadood dua set langsung. Udom Luangpachara dan Pichai Vangsiritavorn (Thailand), serta Prakash Padukone (India) menjadi korban keganasan pukulan "kedutan" khas Iie selanjutnya.Di semifinal, Iie menghadapi pemain Cina (awalnya WNI, lalu kembali ke Cina) Tang Hsien Hu yang pernah melahap King, Tjuntjun, dan Nunung di arena Asian Games. Di final, Iie bertemu Hou Chia Chang. Kedua pemain itu, ditulis media sebagai "dua raksasa yang tak tergoyahkan" karena selalu memenangi berbagai kejuaraan.Melawan Tang, Iie unggul lebih dulu 15-9. Di set kedua, Tang yang bergerak enteng di lapangan dan memiliki pukulan-pukulan gerak tipu, menekan hingga memimpin lebih dulu 7-4. Iie tak mau kalah dan melancarkan berbagai serangannya, 12-7. Namun, Tang lebih dominan, dan mengakhiri set 15-12. Set terakhir, keduanya mati-matian berlaga. Setelah imbang 5-5, Iie melesat meninggalkan Tang 15-6. Iie melaju ke final.


"Waktu saya istirahat, banyak telefon masuk memberi selamat dari Jakarta. Tekad pun semakin bulat untuk dapat membawa piala. Ah, iraha deui. Bebeakan weh lah, sugan da moal paeh di lapangan," kenang Iie.Hou Jiachang, jelas Iie, memiliki teknik, fisik, dan mental bertanding yang sangat baik. Permainannya, menggabungkan speed, power dan kerap bermain stroke. "Mirip-mirip saya lah, ngadu kubet weh eta mah," kata Iie yang seolah melawan diri sendiri saat itu.Set pertama. Iie bermain defensif. Iie kalah 12-15. Pada set kedua, Iie menghabiskan tenaga Hou 8-15. Pertandingan diteruskan lewat rubber set.Pada set penentuan, keduanya tampil tak mau kalah. Pukulan "kedutan" Iie masih membuat Hou "menari-nari", namun sebaliknya kecepatan Hou masih membuat kejar-kejaran skor: 2-2, 5-5, 6-6. Setelah ketinggalan 10-11, Hou menyalip 12-11. Lalu, disusul lagi Iie 12-13. Satu poin lagi untuk Iie, 13-13 dan terjadi deuce 5."Dari situ, poinnya saya kunci. Ia tak berhasil menambah satu poin pun. Saat kedudukan 17-13 untuk saya, saya kepalkan tangan ke atas. Servis terakhir. Bermain reli cepat, dan bola melambung ke atas kiri saya. Itu bola susah buat dismes. Dia kira, saya mau dropshot. Tapi, saya tipu pake lob serang ke kanan belakang daerah lawan. Karena dia keburu mendekati net, dia mati langkah. Olohok weh ninggal bola. Masuk!" seru Iie tanpa terputus-putus.Iie pun mendapat predikat "The Giant Killer", "Pembunuh Naga". (Roby Nugraha/"PR"/bersambung)


***Sempat Kabur dari Pelatnas pada Tahun 1979***

SAMBIL membenahi letak duduknya, Iie meneruskan kisahnya. Pebulu tangkis yang unik nan eksentrik ini menjadi citra yang melekat pada ayah enam anak ini. Media cetak yang terbit medio 1970-an menulis, Iie kerap keluar masuk Pelatnas saat itu. Menangapi hal ini, dengan berterus terang, Iie mengakuinya.


"Ya, saya akui itu. Tapi, bukan berarti juga tanpa alasan yang jelas," kata Iie yang kembali semangat bercerita.Tahun 1979, adalah kejadian paling fatal tentang kaburnya seorang Iie Sumirat dari Pelatnas. Saat itu, Indonesia sedang mempersiapkan tim Piala Thomas yang akan digelar di Jakarta. Seleksi pemain pun dilakukan. Saat seleksi akan menginjak tahap semifinal untuk penentuan tunggal putra, Iie yang sempat pula dijuluki "Tan Joe Hok Cilik" ini menempati peringkat ketiga. Peringkat keempat, dihuni "si bola karet" Lius Pongoh.


"Waktu semifinal, saya tidak dimainkan. Yang diturunkan malah Lius Pongoh. Wah, saya tidak enak perasaan waktu itu. Saya lihat, ini setting kubu-kubu wilayah tertentu. Buktinya, saya dan Ade Tjandra tidak dimainkan," kata Iie.Dengan perlakuan seperti itu, Iie yang merasa tidak dihiraukan, beranggapan dirinya tidak akan dimainkan di final seleksi dan khawatir tidak terpilih menjadi pemain inti. Buntutnya, ia kabur menjelang pelaksanaan Piala Thomas!"


Langsung saja saya kabur ke Bandung. Tapi, meski begitu, dalam benak, saya merasa juga pasti akan diturunkan. Oleh karenanya, saya meneruskan latihan sendiri saja," kenang Iie.Perwakilan pelatnas pun menyusul ke Bandung. Saat bertemu, Iie menawarkan sebuah kesepakatan an offer they can't refuse."Saya bilang kalau saya tidak main di final seleksi, saya akan undang wartawan untuk menggelar konferensi pers," katanya.Posisi tawar Iie saat itu amatlah tinggi. Pasalnya, beberapa wartawan nasional yang telah mengendus kaburnya Iie dari pelatnas, sudah menyusul pula ke Bandung.


Akhirnya, Iie "menang" bersyarat. "Si bola karet" akhirnya menyerah pada "pembunuh raksasa". Iie masuk tim inti, diikuti Liem Swie King, dan Rudi Hartono. Bahkan, ia bermain pula untuk nomor ganda putra, berpasangan dengan Tjuntjun.Hasilnya, Iie menyumbang 3 poin dari total 9 partai pertandingan untuk mempertahankan Piala Thomas kali keempat berturut-turut. Iie menang dua partai tunggal dan sekali partai ganda. Indonesia mendapat Piala Thomas dari tahun 1970, 1973, 1976, dan 1979.


Di partai final Piala Thomas 1979, Indonesia menghadapi Denmark. Saat Iie melawan Svend Pri, keunikan Iie "kambuh" lagi. Kali ini, bukan hanya pukulan "kedutan". Iie melakukan gerakan-gerakan senam mirip ngibing di lapangan. Hal itu ia lakukan untuk merusak mental Pri. "Biasa lah, itu mah ngaledek. Lagian, gerakan itu tidak dilarang," kata Iie sambil terkekeh mengingatnya. Lewat rubber set, rival Rudi Hartono ini bertekuk lutut.


Sementara, rival terkuat Iie adalah Flemming Delfs. Delfs mengandaskan ambisi Iie mencapai gelar juara All England 1974. Iie harus puas menjadi runner-up kala itu. Begitu pula di All England 1977, Iie kalah. Namun, di Taiwan Terbuka 1977 dan Tokyo Terbuka 1978 giliran Delfs yang gigit jari. (Roby Nugraha/"PR"/bersambung)


***Mendirikan PB & MelahirkanTaufik Hidayat***

SEBETULNYA, ada peluang Iie Sumirat untuk meraih gelar juara All England 1978. Sayangnya, ada strategi khusus Indonesia untuk peringkat pemain menghadapi Thomas Cup 1979. "Liem Swie King menghadapi Rudi Hartono di final All England 1976. King kembali menantang Rudi, saat kembali terjadi all Indonesian final di All England 1978," kata Iie.


Menjelang pertandingan semifinal antara Iie dan King pada All England 1978, Rudi melobi Iie. Saat itu, Rudi mengajak Iie untuk bersama-sama dengannya, menaikkan peringkat King dengan meluluskan jalannya menjadi juara. Pasalnya, King muda memendam potensi luar biasa, sekaligus taktik Indonesia menghadapi Thomas Cup tahun berikutnya."Wah, saya ragu waktu itu. Pada satu sisi, saya punya ambisi. Tapi, di sisi lain, saya juga bawa nama negara. Rudi juga lebih senior dari saya," ujar Iie mengenang. Iie akhirnya mengorbankan ambisinya.Menghadapi King dan jumping smash-nya, Iie tak gentar. Ia masih dapat menyerang King dengan variasi stroke dan punya senjata pukulan "kedutan". Terlebih, stamina King saat itu sedang menurun. Namun, Iie mengalah.


"Terus terang, kalau saya kalahkan saat itu, King akan kalah. Kondisinya sedang jelek. Tahun 1978, kemenangan King di All England seakan-akan dibantu saya dan Rudi," kata Iie. Pada final, Rudi pun mengalah pada King.Namun, tahun itu Iie turut membawa Indonesia menjuarai Asian Games, juara Japan Open (grand prix), dan runner-up turnamen lainnya di Jepang.


Terlepas dari agenda tersebut, Iie memuji King. Usia 20 tahun, King sudah bermain di partai final All England 1976. Setahun sebelumnya, variasi stroke Iie belum mampu membungkam jumping smash King pada Kejurnas 1975 di Surabaya, meski partai itu berlangsung rubber set."Wajar lah, saya lebih tua 6 tahun.


Sebetulnya, di antara pemain muda saat itu, yang bisa menerobos ke atas, hanya King. Dia memiliki motivasi sangat tinggi, yang didukung kemampuan teknik prima," kata Iie, yang bersama dengan Rudi Hartono, Liem Swie King, Tjuntjun, Johan, Christian Hadinata, dan Ade Tjandra sempat dijuluki magnificent seven.Tahun 1981, Iie bersama sebagian dari magnificent seven menjuarai duel meet dengan Denmark. Setahun kemudian, ia masih dipercaya mengikuti pelatnas Thomas Cup 1982. Indonesia kalah tipis 4-5 dari Cina.


Tahun itu pula, di usianya yang ke-32, Iie memutuskan gantung raket. Selain umur, pengunduran dirinya didorong faktor klasik yang kerap dialami atlet Indonesia. "Setelah Thomas Cup 1979, ada pengurus PBSI yang menjanjikan secara lisan, tanah dan rumah di Jakarta untuk saya. Rudi dapat di Jakarta, sementara King dapat di Jawa Tengah. Saya beda nasib," katanya.Dari Pemda Jabar, Iie mendapat rumah di Sukaluyu dan sebagian bantuan untuk GOR SGS yang berdiri hingga kini.


Dirikan PB Sarana MudaIie meneruskan karier bulu tangkisnya dengan membina anak-anak di Ciganitri dan Moh. Toha. Ia pun mulai membangun GOR di Jln. Soekarno Hatta Bandung. Di situ, ia mendirikan PB Sarana Muda, embrio SGS Elektrik.Beberapa kali berganti sponsor, akhirnya Sarana Muda dilebur menjadi Sangkuriang Graha Sarana (SGS) yang merupakan PB gabungan antara Edi Ismanto (mantan pebulu tangkis), Lutfi Hamid (pejabat PLN), dan Iie. SGS mulai "beranak" dan mendirikan GOR baru di daerah Caringin. Kakak Iie, Nara Sudjana turut melatih.


Di PB SGS Elektrik, Iie menemukan intan Pangalengan yang belum diasah. "Daya serapnya tinggi, motivasi mau menang sangat tinggi, dan potensinya tinggi pula. Atas dasar itu, saya sarankan ia mengikuti seleksi pelatnas tahun 1996," kata Iie.Intan itu berkembang dan meroket. Mewarisi pukulan "kedutan" Iie, ia juara 6 kali Indonesia Open, medali emas Olimpiade Athena 2004, serta Kejuaraan Dunia 2005.Kini, Iie bangga pernah turut membentuk fondasi permainannya. Iie bangga pula dengan prestasi yang dicapai intan Pangalengan yang bernama Taufik Hidayat itu.


Hingga saat ini, di SGS Elektrik dan Pusdiklat Lippo, Iie masih terus menggembleng anak-anak asuhannya. Tujuannya, menciptakan Taufik-Taufik baru yang siap menancapkan kembali supremasi bulu tangkis Indonesia di dunia

Taufik Hidayat


SELAMA ini Taufik Hidayat, dikenal sebagai sosok yang mudah terpancing emosinya. Tak saja di lapangan, tetapi juga di luar lapangan. Sebagian publik sudah melihat bagaimana ketika Taufik secara emosional tak mau melanjutkan pertandingan final nomor beregu putra di Asian Games 2002. Atau bagaimana seorang Taufik, dengan ''gampang'' memukul sopirnya Ahmad Kalla, ketika mobilnya bersinggungan.
Namun siapa sangka, masa kecil Taufik berbeda seratus delapan puluh derajat. Menurut guru-guru, para tetangga dan orang-orang dekatnya, Taufik kecil justru dikenal sebagai anak yang lugu, pendiam, dan pemalu.
MATANYA berkaca-kaca, ketika sang guru menegurnya karena ia tidak mengerjakan ''PR'' (pekerjaan rumah). Melihat itu, sang guru pun merasa kasihan dan tak tega memberinya hukuman. Wajah anak itu begitu lugu dan menggemaskan, terlebih dalam kesehariannya anak itu tidak pernah neko-neko. Akhirnya si murid hanya disuruh mengerjakan ''PR''-nya di dalam kelas.
Itulah momen yang selalu diingat tiga guru Sekolah Dasar Negeri Pangalengan I tentang Taufik Hidayat. Pebulu tangkis yang meraih medali emas di Olimpiade Athena 2004 ini memang tercatat sebagai murid SDN Pangalengan I dengan nomor induk 5563 yang lulus tahun 1986.
Di sekolah yang terletak di pinggir Jln. Raya Bandung-Pangalengan inilah Taufik menghabiskan masa kecilnya. Dilihat dari fisik bangunannya, sekolah dasar yang terdiri dari tiga sekolah itu (SDN Pangalengan I, II dan III) tidaklah istimewa. Bangunannya sederhana seperti umumnya sekolah-sekolah dasar yang ada di daerah. Bahkan di beberapa bagian sudah memerlukan sentuhan perbaikan, minimal pengecatan. Tetapi dari sekolah yang tak memiliki lapang bulu tangkis itulah ''lahir'' juara dunia bulu tangkis, Taufik Hidayat.
Teni Riani (guru kelas I), Ranny Nuraeni, S.Pd. (guru kelas III), dan Dra. Dewi Herliani (guru kelas IV) mengisahkan ketika berada di bawah bimbingan mereka, Opik,--panggilan akrab Taufik Hidayat,--memang termasuk anak pendiam dan pemalu, jauh dari kesan menonjol. Pergaulannya terbatas hanya dengan teman-teman tertentu. Bukan karena sombong, melainkan karena pemalu. Satu-satunya sahabat kentalnya di SD adalah Anton yang kini menjadi polisi.
Kulit putih, dengan wajah yang imut-imut membuat banyak orang menyukai Opik, temasuk para guru dan teman-temannya. Kerapihannya dalam berpakaian seragam sering dijadikan contoh. Tetapi namanya juga anak-anak, pertengkaran selalu terjadi karena berbagai sebab. Namun Opik cenderung mengalah jika harus bentrok dengan rekannya. Air matanyalah yang kemudian mengakhiri pertikaian.
''Opik memang bisa dikatakan cengeng, karena tak melawan jika ada teman yang mengganggunya. Makanya saya terkadang heran jika membaca kasus-kasus yang dialami Opik akhir-akhir ini. Kok sifat-sifat Opik sekarang berbeda dengan dulu?'' ujar Ranny.
Dalam mata pelajaran pun Opik terbilang biasa-biasa saja, bahkan ketika duduk di kelas empat, rapor cawu I-nya sempat dihiasi tinta merah untuk mata pelajaran IPS, matematika, dan IPA.
''Sebenarnya kecerdasan Opik terbilang lumayan, artinya tidak kurang, hanya saja mungkin karena kecapekan, pelajaran Opik di cawu I kelas empat menurun drastis,'' jelas Dewi.
Sejak kelas III SD, lanjutnya, Opik memang masuk klub Sangkuriang Graha Sarana (SGS) di Jln. Soekarno Hatta Bandung. Untuk itu setidaknya seminggu dua kali Opik harus bolak-balik Bandung-Pangalengan yang berjarak sekira 40 km dengan menumpang kendaraan umum. Bahkan latihan berlangsung sampai malam hari sekira pukul 20.00 WIB.
Tak heran, jika di awal-awal masuk klub SGS Opik acap kedapatan mengantuk di dalam kelas. ''Kunaon Pik nundutan wae (Kenapa, Pik mengantuk saja)?'' Teguran itu kerap dilontarkan Ibu Ranny manakala melihat Opik mengantuk di dalam kelas. Untunglah hal itu tidak berlangsung lama, Opik segera dapat menyesuaikan diri dengan kegiatannya dan bisa mengejar ketinggalannya.
Sejak sering mengikuti berbagai turnamen, nama Opik semakin dikenal di lingkungan teman-teman sekolahnya maupun di lingkungan tempat tinggalnya. Kendati demikian, tidak ada perlakuan istimewa untuknya. Kelebihannya, mungkin hanya dalam kemudahan mendapatkan izin jika ada pertandingan di luar sekolah. Tetapi, itu tidak seberapa dibandingkan dengan prestasi yang diraih Opik.
''Sebagai gurunya, kami semua tentu merasa bangga, apalagi dengan prestasi Opik di Olimpiade Athena 2004. Kami hanya bisa mendoakan mudah-mudahan dia bisa terus menjaga prestasinya. Kendati demikian, kami berharap sesekali Opik mau mampir ke SDN Pangalengan I untuk memberi dorongan kepada adik-adik kelasnya agar bisa berpresatsi seperti dirinya,'' ujar ketiga guru wanita yang ketika diwawancara didampingi kepala sekolah, Elan. ***
KESEJUKAN alam pegunungan Pangalengan yang terkadang dihiasi embun di pagi hari, telah membawa keteduhan bagi sebagian penduduknya. Suasana inilah yang menghantarkan pribadi seorang anak manusia yang di kemudian hari mampu membahanakan nama Indonesia di mata dunia melalui prestasinya. Suasana teduh Kecamatan Pangalengan yang jauh dari hiruk pikuk kota, menjadikan Opik kecil tumbuh dengan pribadi tenang, tidak meledak-ledak, bahkan nyaris tertutup.
Taufik Hidayat, dilahirkan pada 10 Agustus 1981 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Ayahnya menekuni bisnis sayuran yang cukup dikenal di Pangalengan. Dari usahanya, ia mampu menghidupi Taufik untuk mengikuti berbagai aktivitas di luar sekolah.
Lingkungan rumah yang hangat, membuat Opik kecil cenderung malas melakukan interaksi dengan lingkungan sekitar. Terlebih ayahnya mendidik Opik kecil sangat disiplin. Terkadang saat Opik meminta uang jajan, terlebih dahulu harus bermain tali (skipping) atau memainkan dumbbell. Rupanya di balik ketatnya disiplin ini, sang ayah secara diam-diam ingin membentuk fisik Opik menjadi kuat. Opik pun memenuhi ''permintaan'' ayahnya tanpa beban.
Opik memang penurut dan termasuk anak rumahan yang manis. ''Jika tidak terlalu penting, kelihatannya ia malas keluar rumah. Mungkin karena kecapekan latihan bulu tangkis,'' ujar Nung, pembantu yang sudah lama ikut dengan keluarga H. Aries Haris dan Hj. Enok Dartilah, orang tua Taufik.
Seperti kebanyakan anak lainnya, Opik sesungguhnya lebih menyukai sepak bola. Namun ayahnya, menyarankan untuk meraih prestasi sebaiknya menekuni bulu tangkis. Kebetulan ayah dan ibunya menggemari olah raga ini. Maka, di usia tujuh tahun, Opik sering kali diajak orang tuanya bermain bulu tangkis di lingkungan rumahnya. Antara lain di GOR Pamor, Pangalengan. Sejak itulah Opik lambat tetapi pasti mulai menyukai bulu tangkis.
Setelah agak mampu mengayunkan raket, tidak jarang ia menggoda kakak dan adiknya bahkan pembantunya saat mereka menjadi lawan tandingnya. Ketiga orang itu terkadang dijadikan sasaran untuk di-smash, hingga acap Nung dibuat menangis.
Opik mulai dibina secara fisik oleh Ence Surahmat dan Ade di GOR Pamor yang belakangan ini berubah fungsi menjadi kandang ayam, karena pengurusnya bubar. Sejak itulah ia memberanikan diri mengikuti pertandingan di lingkungan setempat, bahkan ia mampu mengalahkan lawan yang sudah dewasa sekali pun.
Melihat kelebihan anaknya, Aries memasukan Opik ke SGS pimpinan Lutfi Hamid. Opik ditangani pemain eksentrik Iie Sumirat. Konsekuensinya, Opik terpaksa bolak balik Pangalengan-Bandung.
''Jika pulang sekolah, Opik hanya sebentar berisitirahat, karena harus siap-siap ke Bandung, terkadang Opik hanya sempat makan dengan telur goreng kering kesukaannya, kali lain ia cukup menyantap mi instan kegemarannya,'' cerita Nung.
Masa-masa ini tentu tinggal cerita manis bagi Nung. Karena sejak masuk SMP Taufik kemudian hijrah ke Bandung. Awalnya ia tercatat sebagai murid di SMP Pasundan I Jln. Balong Gede Bandung. Karena tuntutan latihan yang padat, sering kali Taufik harus bolos dari sekolah. Melihat kondisi ketatnya peraturan sekolah, akhirnya Taufik pindah ke SMP Taman Siswa hingga ia menamatkan pendidikan SMA.
Di sekolah ini Taufik mendapat kelonggaran untuk meraih prestasi bulu tangkisnya. Bahkan ketika ujian akhir SMA pun Taufik diperbolehkan mengikuti ujian susulan di ruang perpustakaan sendirian. Setelah lulus SMA, Taufik kian berkembang. Dan akhirnya ia hinggap di Pelatnas Cipayung.
Dengan keberhasilan Taufik saat ini, selain merasa bangga, warga Pangalengan mengharapkan Taufik bisa berbuat sama seperti yang dilakukan pendahulunya, Susi Susanti di Tasikmalaya. ''Kami berharap ada GOR Taufik Hidayat di Pangalengan ini,'' ujar Mantri Polisi Kecamatan Pangalengan, Rukman, mewakili warganya. (pikiran-rakyat.com)

liem Swie King



Piala Thomas direbut dari tangan RR Cina, Mei 1984, lewat pertarungan seru di Kuala Lumpur, Malaysia. Tetapi, Liem Swie King, yang bermain di tunggal pertama, dan diharapkan membawa kemenangan, ternyata gagal. Ia kalah rubber set 15-7, 11-15, 10-15 dari pemain Cina yang jadi musuh bebuyutannya, Luan Jin. Beberapa bulan sebelumnya, di arena All England, King juga gagal meraih kedudukan terhormat. Juara All England tiga kali ini kandas di tangan pemain tangguh Denmark, Morten Frost Hansen.


Dari serentetan kegagalan ini, King akhirnya memutuskan mundur dari percaturan bulu tangkis tunggal perseorangan. ''Orang boleh mengatakan saya masih mampu. Tapi penonton bosan melihat saya kalah terus, apalagi saya,'' katanya. Untuk ganda, ia memilih Kartono.


Pasangan KingwKartono ternyata cukup tangguh. Di perebutan Piala Thomas itu, pasangan inilah penentu kemenangan regu Indonesia. Adalah pasangan KingwKartono pula juara Piala Dunia Alba 1984 di Jakarta.


Di kota kelahirannya, King langsung mendapat asuhan dari ayahnya, Witopo, dan kakak iparnya yang juga pelatih klub Djarum, Agus Susanto. Nama King segera meledak di tingkat nasional sejalan dengan menurunnya prestasi maestro bulu tangkis Indonesia, Rudy Hartono. King menjadi juara nasional, 1974, dalam usaia 18 tahun. Dua tahun kemudian, ia sudah menjadi penghuni Pelatnas Bulu Tangkis.


Tahun itu pula ia diterjunkan ke Kejuaraan Asia. Menyusul kejuaraan lebih tinggi, All England, Piala Thomas, Kejuaraan Terbuka Swedia, dan SEA Games. Ia menundukkan Rudy Hartono di final All England 1978, dan itulah pertama kalinya King menjadi juara All England.Para pengamat menilai King sebagai pemain serba lengkap. Stroke-nya lengkap, smash-nya keras, disertai loncatan. Permainan netnya juga tajam dan halus. Adapun yang kurang -- ini pendapat beberapa pengamat yang tidak dikomentari King -- adalah soal mental. ''King mudah frustrasi,'' ujar seorang pengamat. Sebagai bukti, ditunjukkannya kekalahan King dalam final All England 1980. Malam sebelum bertanding, King tidak bisa tidur, karena ''takut'' menghadapi Prakash Padukone dari India.


Yang jelas, King pernah bersikap tidak disiplin. Ia diterjunkan dalam nomor perseorangan tunggal bulu tangkis SEA Games 1979, di Jakarta. Seharusnya ia sudah hadir di Gelanggang Olah Raga Kuningan pukul 09.00. Tetapi King terlambat. Lawannya, Lee Hai Thong dari Singapura, kemudian dimenangkan dengan WO (walk over). Akibatnya, King diskors tiga bulan oleh PBSI.


Dalam masa skorsing itulah, pemuda pemalu itu tiba-tiba terjun di dunia lain, film. Ia bermain dalam film Sakura dalam Pelukan, mendampingi bintang sexy Eva Arnaz. ''Hanya coba-coba, agar tahu caranya main film,'' alasan King. Seperti halnya ketika Rudy Hartono bermain dalam film Matinya Seorang Bidadari, King pun kali ini dicaci sejumlah orang. Cacian itu diterimanya, ia tidak lagi main film walau mengaku masih ada tawaran. Ia memantapkan diri lagi di bulu tangkis. Terbukti prestasinya naik, ia menjuarai All England untuk ketiga kalinya, 1981.


King menikah dengan Lucia Sumiati Alamsah, 1982, setelah berpacaran enam tahun. Pasangan ini dikaruniai seorang putra, Alexander.


Apa rencana King setelah tak lagi menjadi pemain? ''Target saya memang jadi pemain setidak-tidaknya sampai 1988. Setelah itu, mungkin menjadi pelatih, walaupun tidak pelatih penuh. Pokoknya, ingin menyumbangkan sesuatu untuk bulu tangkis,'' kata olah ragawan yang pernah dinobatkan sebagai sepuluh atlet terbaik Asia tahun 1984, oleh Asosiasi Penulis Olah Raga Cina, yang diumumkan di Beijing, Desember 1984.

CHRISTIAN HADINATA



''Dunia bulu tangkis Indonesia harus mengadakan peremajaan sekarang juga. Kalau tidak, kapan lagi kita bisa berbicara?'' Ini kesimpulan Christian Hadinata, spesialis ganda yang tergolong pemain tertua yang masih dipakai dalam SEA Games 1985.


Tahun-tahun belakangan ini, Chris juga harus bisa membagi waktu dan konsentrasi. Sebab, sementara diandalkan dalam setiap turnamen resmi, ia juga bertindak sebagai pelatih. Semula menjadi pelatih putri, bersama Minarni. Tetapi, untuk persiapan SEA Games 1985 dan Piala Thomas 1986, ia dipercaya menjadi pelatih tim putra bersama Atik Djauhary dan Tahir Djide.


Christian anak bungsu dari enam bersaudara. Putra guru ini memang gemar berolah raga, terutama sepak bola. Bermain bulu tangkis, bahkan tadinya hanya asal-asalan. ''Barangkali karena lapangan bulu tangkis tidak jauh dari rumah saya, ya, saya mau ikut,'' katanya. ''Padahal waktu itu saya lebih senang main bola kaki.''


Toh, dalam olah raga bulu tangkis itu akhirnya Christian menonjol. Di kota kelahirannya, ia pernah menjuarai pertandingan bulu tangkis antarpelajar SMA. Setamat SMA, 1970, ia mendaftar di Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto. Sambil menunggu pengumuman, ia berangkat ke Bandung, menonton perebutan Piala Thomas lewat TV. ''Waktu itu, di Purwokerto siaran televisi tidak jelas, masih sering gerimis,'' tutur Chris. Di depan layar televisi, Chris mengakui dadanya bergetar. ''Melihat penampilan Rudy Hartono dan Mulyadi, wah, bagaimana, ya, dada itu bergelora. Sejak itu saya bertekad, akan terjun di bulu tangkis.''


Maka, Christian melupakan cita-citanya menjadi ekonom. Atas dorongan kakaknya di Bandung, ia mendaftar di Sekolah Tinggi Olah Raga (STO) -- kini Fakultas Kejuruan Ilmu Keolahragaan IKIP Bandung. Kuliah sambil tekun berlatih, ia bergabung dengan Klub Mutiara, di bawah asuhan Drs. Sukartono dan pelatih fisik Almarhum Irsan.


Hanya enam bulan ditempa di Bandung, Christian sudah meraih peringkat tertinggi di Jawa Barat. Di tingkat nasional, ia tidak terkalahkan pada Kejurnas Bulu Tangkis di Yogyakarta, dan menjadi juara ganda putra berpasangan dengan Atik Djauhari. Setahun setelah itu, untuk pertama kalinya, ia mengikuti pertandingan internasional di Kejuaraan Asia II di Jakarta. Berpasangan dengan Ade Chandra, merebut gelar juara pertama. ''Rasanya, begitu cepat bisa menempati nomor terhormat. Kebanggaan tiada terhingga,'' katanya.


Sejak 1972, Christian menjadi penghuni pelatnas. Pasangan legendarisnya tetap Ade Chandra. Tidak kurang dari sembilan kali pasangan ini menjadi juara ganda tingkat dunia, termasuk di All England. Di tingkat nasional, pasangan ini tidak terkalahkan.


Ketika Ade Chandra mundur, Christian berpasangan dengan Tjuntjun. Pasangan ini pun disegani. Ketika ada diskusi bulu tangkis antarnegara di Malmoe, Swedia, 1977, pasangan Christian dan Tjuntjun diakui sebagai ''Pemain ganda terbesar dasawarsa ini''.


Sebagai spesialis ganda, Christian ternyata mampu berpasangan dengan pemain mana saja. Ia pernah tampil bersama Iie Sumirat, dan dua kali merebut gelar terhormat berpasangan dengan Imelda Wigoena di nomor ganda campuran, All England 1979 dan Asian Games 1982. Bersama Bobby Ertanto, ia tampil di kejuaraan dunia 1983 di Kopenhagen, Denmark. Bersama Liem Swie King, ia menjadi pemain penentu perebutan Piala Thomas 1984. Bahkan pemain asing pun pernah dijadikan kawan pasangannya, yakni Kevin Jolly dan Nierhoff.


Walaupun Chris sudah mencatat 13 pasangan main, di rumah ia tetap setia dengan pasangan abadinya, Yoke Anwar. Anaknya juga sepasang, Mario Timothy dan Mariska Naftali. ''Kami hidup dari bulu tangkis. Chris tak punya usaha apa-apa,'' kata Yoke di rumahnya, di Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Candra Wijaya



Atlet bulutangkis peraih emas Olimpiade Sydney 2000 ini memang tumbuh dalam keluarga penggemar bulutangkis. Ayahnya, Indra Wijaya, mantan atlet olahraga yang sama, pemilik klub Rajawali, tempat Candra pertama kali bermain bulutangkis. Pada usia 12 tahun, ia meninggalkan kota kelahirannya, Cirebon, dan menyusul kakaknya di Jakarta.


Di Jakarta, dari semula coba-coba, ia lama-lama makin jatuh cinta pada bulutangkis dan terus berlatih. “Saya kemudian menikmatinya,” ujarnya, “Akhirnya, saya mematok diri saya bahwa saya harus juara.” Di Jakarta, pertama main di klub Pelita Bakrie, sebelum pindah ke klub Jaya Raya. Berbagai pertandingan ia ikuti dan sederet prestasi ia raih. Prestasi internasional pertama yang ia raih adalah ketika memenangi Kejuaraan Dunia 1997 di Skotlandia, berpasangan dengan Sigit Budiarto. Dari keberhasilan itu, Candra memperoleh beasiswa dari IOC Solidarity (Solidaritas Komite Olimpiade Internasional) berupa bantuan dana latihan selama mempersiapkan diri ke Olimpiade Sydney 2000.


Beasiswa itu pun tak sia-sia. Di Olimpiade 2000 di Sydney, berpasangan dengan Tony Gunawan, ia menyumbangkan medali emas untuk Indonesia. Tak heran, dari Federasi Bulutangkis Dunia (IBF) ia memperoleh penghargaan Eddy Choong Player of The Year 2000. Baginya, menjadi juara bukan untuk mencari popularitas tapi prestasi. “Popularitas kita dapat sejalan dengan apa yang kita kerjakan,” katanya.


Semua prestasi itu tidak lepas dari kerja keras, kemauan dan semangat yang besar, serta dukungan keluarga termasuk motivasi dari istri. “Saya kalau belum memenuhi target akan terus berlatih lebih luar biasa,” kata Candra. Karena totalitasnya di bulutangkis, ia berhenti sekolah setamat SMA, dan berkonsentrasi penuh di bulutangkis.


Sebelum berkeluarga, waktu Candra dihabiskan di Pelatnas. Tetapi setelah menikah pada 2000 dengan Caroline Indriani, yang juga atlet, ayah seorang anak bernama G. Christopher Wintan Wijaya itu lebih banyak datang ke Pelatnas saat latihan. Selama masih kuat, ia bertekad akan terus bermain bulutangkis. Ia ingin mempertahankan medali emas di Olimpiade 2004.


Sebagai atlet dengan banyak prestasi, Candra berpendapat bahwa penghargaan dari pemerintah masih kurang. “Seharusnya prestasi dan penghargaan itu harus diperhatikan betul; saya merasakannya belum maksimal,” cetus juara All England 1999 ini. Selain itu, ia berharap agar atlet tidak dijadikan obyek dan proyek kepentingan pribadi dan segelintir orang.


Waktu luangnya, misalnya libur tiga hari seusai mengikuti kejuaraan, ia habiskan bersama keluarga. Candra suka lukisan, keindahan alam, ikan, dan burung. “Saya suka ketenangan dan menyendiri untuk merefleksikan diri ke depan dan ini dapat membuat saya mantap,” tuturnya. Dalam penampilan, ia mencintai kesederhanaan.

Kim Dong Moon Legenda Bulutangkis Beregu




Pemain kawakan Korea Selatan, Kim Dong Moon telah menjadi legenda hidup yang terkenal di kancah bulutangkis Internasional. Sebagai pemain ganda terkuat saat ini, Kim berpasangan dengan rekannya, Ha Tae Kwon untuk menggetarkan nyali lawan. Kim boleh berbangga atas penghargaan dari Federasi Bulu Tangkis Internasional (IBF), sebagai pebulu tangkis penerima penghargaan Eddy Choong untuk tahun 2002. Demikian dikutip dari situs worldbadminton, Selasa (21/1). Pemain berusia 27 tahun ini menjadi orang kelima penerima penghargaan prestisius itu dan mantan juara dunia ini, kembali berhasil merebut gelar di Kejuaraan Dunia 2002. Kim melengkapi prestasinya dengan merebut lima gelar turnamen grand prix dan Kejuaraan Asia. Kim meraih sukses ini tentunya tidak sendirian, dia berpasangan dengan Ha Tae Kwon sekaligus mencatat sebagai pasangan legendaris di ganda putra. Kendati demikian, prestasi Kim tidak hanya merajai persaingan bulu tangkis di ganda putra. Namun, Kim juga mampu berjaya di ganda campuran dimana tujuh gelar grand prix dan medali emas Asian Games 2002 telah direbutnya. Prestasi Kim semakin lengkap ketika mencatat sukses di Olimpiade Atlanta 1996 dengan merebut gelar di ganda campuran. Pebulu tangkis jangkung ini juga menjadi andalan tim Piala Thomas negeri ''Ginseng'' tahun 2002, yang digelar di Guangzhou, Mei 2002.Presiden IBF Korn Dabbaransi mengatakan, prestasi Kim tahun lalu memang luar biasa. ''Saya mengucapkan selamat untuk Kim Dong Moon, yang menjadi penerima penghargaan ini. Kemampuannya yang tak terkalahkan, senang untuk bersaing dan fair play, ada dalam kepribadiannya di luar lapangan. Ini yang membuatnya menjadi contoh baik dan menjadi duta olahraga kita,” kata Dabbaransi. Penghargaan itu diangkat dari prestasi Eddy Choong yang merupakan pebulu tangkis legendaris Malaysia. Ia mendominasi bulutangkis kelas Eopa tahun 1950 dan menjadi tim Malaysia dalam merebut Piala Thomas 1955. Eddy Choong juga berhasil merebut All England empat kali yakni tahun 1953, 1954, 1956, dan 1957.

Sabtu, 5 Januari 2008

Sigit Budiarto


Pemain bulutangkis yang hobi berat dengan sepak bola. Itulah Sigit Budiarto. Di sela-sela latihan rutinnya di Pelatnas Bulutangkis di Cipayung, Jakarta Timur, Sigit kerap menyempatkan diri bermain sepak bola dengan rekan-rekannya. Kebetulan di sana memang ada lapangannya. Jadi kloplah. "Saya memang sering mengisi waktu luang dengan bermain sepak bola," tuturnya.Sigit mulai terjun ke dunia bulutangkis pada usia enam tahun. Ia meniti karirnya di klub kelas kampung di Prambanan, Magelang, Jawa Tengah. Setelah itu, berturut-turut ia masuk klub-klub Setiakawan dan Pancing, sebelum akhirnya ke Klub Djarum Kudus. Nah, di klub milik perusahaan rokok itulah ia serius mengasah talentanya. Pada 1995, ia kemudian ditarik ke Pelatnas Bulutangkis di Cipayung.Para pengamat bulutangkis menyebut Sigit bukan sekadar pemain bulutangkis. Ia juga dijuluki penghibur di lapangan. Cap itu melekat boleh jadi lantaran ia kerap melakukan pukulan-pukulan dengan gaya akrobatiknya. Terutama saat ia mengembalikan kok yang dipukul lawan. Misalnya, ia terkadang memukul dari belakang punggung, atau dari kedua belah kakinya. Tentang ulahnya itu, ia berkomentar, "Semuanya saya lakukan tanpa tujuan ingin berakrobat, hanya refleks saja."Prestasi Internasional yang paling berkesan bagi Sigit adalah ketika ia menjadi juara dunia ganda putra 1997, berpasangan dengan Chandra Wijaya. Berkat keberhasilan menjadi juara dunia, ia memperoleh beasiswa dari IOC Solidarity (Solidaritas Komite Olimpiade Internasional) berupa bantuan dana latihan selama mempersiapkan diri ke Olimpiade Sydney bersama Chandra.Malang, beasiswa tersebut batal ia terima, karena ia terkena kasus doping pada akhir 1998. Selain itu, ia diskors tidak boleh bertanding selama satu tahun. “Saya sendiri sampai sekarang tidak tahu mengapa saya bisa terkena kasus doping,” tuturnya. "Terus terang, saya sangat terpukul atas kasus tersebut," tambah pria yang memakai anting segitiga di telinga kirinya itu. Beruntung, Sigit bisa menghadapi kasus itu dengan lapang dada. Perlahan tapi pasti, anak ketiga dari empat bersaudara keluarga Sutoto dan Naniek Sriniati itu tetap giat berlatih --meski ia tak bisa bertanding selama setahun skorsing. Hasilnya, bersama pasangannya Chandra Wijaya, ia ikut memperkuat Tim Piala Thomas Indonesia 2000 dan 2002 – dan membawanya pulang ke tanah air. Selain itu, pada 2001, Sigit dan pasangannya berhasil menjuarai Copenhagen Master.Kini, setelah ikut mempertahankan Piala Thomas 2002, Sigit masih memendam satu obsesi lagi. "Kapten Kesebelasan Cipayung” itu sedang mempersiapkan diri untuk merebut mendali emas Olimpiade 2004.

Badminton VS Bulutangkis

Blog Badminton vs Bulutangkis ini bertujuan untuk memberi informasi tentang sukan badminton @ bulutangkis antara lain mencakupi: Tips dan Teknik bermain badminton. Berita Badminton, informasi tentang pemain badminton dunia dari Malaysia mahupun dari luar negara.


Semua selok-belok mengenai badminton dari lapangan sampai net, dari shuttlecock sampai raket, membahas secara lengkap teknik-teknik mengenai smash, dropshot, servis, defence dan tips mengenai badminton. Blog ini juga menyediakan informasi terbaru pertandingan Badminton baik di peringkat kebangsaan mahupun peringkat antarabangsa kepada pecinta sukan Badminton ini.

Blog ini juga memuatkan pandangan saya tentang permainan ini bagi pemain yang mahu memulakan langkah untuk berjaya dalam sukan ini mahupun bagi mereka yang sudah dewasa.Terserahlah kepada anda untuk menilai pandangan saya tersebut betul atau salah.

Sekian...........................